MAKALAH MIKROBIOLOGI PENGOLAHAN
SOSIS
FERMENTASI (SALAMI)
Oleh:
ROFIDAH AJIZAH
1303035088
UNIVERSITAS MULAWARMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PS/JURUSAN TEKNOLOGI
HASIL PERTANIAN
SAMARINDA
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala yang senantiasa
memberikan ridho dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan Makalah ini. Tema yang dipilih pada Penulisan makalah Mikrobiologi
Pengolahan yang diajarkan oleh Ibu Ir. Hudaida, dengan judul SOSIS FERMENTASI
(salami).
Penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penulisan makalah ini. Mungkin dalam penulisan ini masih
terdapat kesalahan, oleh kerena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun untuk kesepurnaan makalah ini.
Samarinda, 24 September 2014
Rofidah Ajizah
DAFTAR ISI
Halaman
KATAPENGANTAR.............................................................................
ii
DAFTAR
ISI..........................................................................................
iii
BAB
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang...................................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah..............................................................................
2
1.3
Tujuan................................................................................................
2
BAB
II. PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Sosis Fermentasi...............................................................
3
2.2
Pediococcus cerevisiae.......................................................................
6
2.3
Jenis-jenis Sosis..................................................................................
9
2.4
Bahan Pembuatan Sosis.....................................................................
8
2.5
Mekanisme Reaksi............................................................................
14
2.6
Pengendalian Proses Pembuatan Sosis Fermentasi...........................
15
2.7
Karakteristik Sosis Fermentasi..........................................................
19
2.8
Manfaat Sosis Fermentasi.................................................................
20
BAB
II. PENUTUP
3.1
Kesimpulan.......................................................................................
21
DAFTAR
PUSTAK...............................................................................
22
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Di Indonesia, makanan
begitu melimpah dan bervariasi jenisnya. Beberapa produk makanan yang sekarang
ini terus-menerus tampil di layar televisi selalu saja muncul dengan cassing/tampilan baru seperti; sosis,
snack ringan, minuman dan lain sebagainya. Sehingga masyarakat begitu antusias
ketika terus menerus dijejali produk-produk baru dalam mengkonsumsinya. Tidak
hanya makanan saja, tetapi juga bebrapa mode yang lain kerap membanjiri iklan
di sana-sini.
Masyarakat di zaman
sekarang ini yang katanya masyarakat modern, kiranya lebih menyukai bentuk
keinginan dan kebutuhan instan. Artinya masyarakat tidak mau bersusah
payah dalam sekedar mengganjal perut.
Misalnya, pada pagi hari kita mau berangkat kerja atau berangkat kuliah meraka
lebih memilih membeli roti, atau sekedar memasak mie instan yang lebih cepat
dan praktis dimakan dari pada memasak nasi/lauk dulu. Pertanyaannya, apakah
makanan yang praktis dan siap saji menjamin kesehatan kita? Bagaimana
efek/dampak kesehatan masa tua kita ketika selalu mengkonsumsi makanan
tersebut?
Baiklah, kiranya kita
semua harus waspada terhadap makanan siap saji di atas. Karena beberapa ahli
kesehatan berpendapat bahwa makanan ini bahwasanya mengandung berbagai pengawet
dan beragam jenis yang sangat bahaya dalam tubuh. Sudah barang tentu makanan
yang terlalu banyak mengandung pengawet akan sebagai toksik/racun dalam metabolisme tubuh kita.
Tapi
disini akan menerangkan produk makanan yaitu sosis fermentasi yang Memiliki
daya cerna yang tinggi sehingga mudah diserap dan dicerna oleh tubuh. Dan
proses pembuatan atau bahan-bahan yang terkandung di dalam nya.
1.2 Rumusan Masalah
·
Apa Pengertian sosis fermentasi?
·
Jenis-jenis sosis?
·
Bahan apa saja dalam pembuatan sosis fermentasi?
·
Bagaimana cara pembuatan sosis fermentasi?
·
kandungan mikroba apa yg ada di dalam sosis fermentasi?
1.3 Tujuan
·
Dapat mengetahui mana produk sosis yang baik di konsumsi,
dan
·
Dapat mengetahui sosis fermentasi mengandung bakteri apa
saja .
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sosis Fermentasi
Sosis
fermentasi (salami) merupakan produk fermentasi olahan daging dengan penggunaan
kultur bakteri asam laktat, yang mengubah karbohidrat menjadi asam laktat.
Salami berasal dari kata suh-lah-mee . Salami merupakan famili produk
sosis fermentasi kering, dikemas dengan casing berdiameter agak besar,
bentuk adonannya kasar, memiliki flavor tertentu (terutama bawang putih), dan
dapat langsung dikonsumsi tanpa dimasak (Herbest, 1995). Hui et al (2001)
menyatakan sosis fermentasi dibedakan berdasarkan kadar airnya, yaitu sosis
kering (dry sausage) dengan kadar air 30%-40% dan sosis semi kering (semi dry
sausage) dengan kadar air 40%-50%. Jenis sosis kering memiliki umur simpan yang
yang baik dan dapat disimpan tanpa pendinginan. Pembuatan sosis fermentasi diawali
dengan penggilingan, pencampuran dan atau pencacahan daging pada
temperatur -4.4ºC sampai -2.2ºC,ditambahkan lemak, kemudian dimasukkan starter,
garam dan bumbu, kemudian produk dipadatkan dalam casing pada temperatur -2.2ºC
sampai -1.1ºC. Produk diinkubasi pada proses fermentasi oleh mikroorgamnisme
asam laktat pada temperatur 21.1ºC sampai -37.8ºC, selama proses fermentasi
produk digantung, pengeringan dilakukan pada temperatur 10-21ºC
(Soeparno, 1994).
Sosis
fermentasi melibatkan fermentasi oleh bakteri asam laktat dalam proses
pembuatannya (Buckle et al, 1987). Kultur yang sering digunakan dan tersedia
secara komersial berasal dari golongan Streptococcus, Lactobacillus dan
golongan Micrococcus (Jay, 2000; Kato et al, 2004), Lactobacillus plantarum,
Lactobacillus sake, L. curvatus, Pediococcus lacidactici dan kombinasi
yang tepat dengan P. Pentosaceus (ErdoTMrul et al, 2002). Kultur sosis
fermentasi yang diisolasi dari daging sapi murni diharapkan dapat tumbuh dengan
baik dan menghasilkan sosis fermentasi dengan kualitas yang lebih baik
dibandingkan penggunaan kultur komersial yang bukan diisolasi dari daging sapi.
Secara alami, terdapat spesies bakteri asam laktat yang tumbuh pada daging sapi
murni, salah satunya adalah L. plantarum (Arief et al, 2005). Lactobacillus
plantarum adalah alah satu jenis bakteri asam laktat yang banyak ditemukan
dalam produk fermentasi sosis dan susu. Lactobacillus plantarum termasuk
bakteri gram positif, tidak memiliki kemampuan katalase dan cenderung membentuk
rantai-rantai pendek. Lactobacillus plantarum mampu hidup dengan baik pada pH 5
sampai 6,5 dan konsentrasi NaCl 1,5 sampai 2% sehingg a dapat diterapkan baik
pada daging PSE (Pale Soft Exudative ), normal maupun DFD (Dark Firm Dry) dan
sosis fermentasi dengan formilasi garam sampai 2%. Bakteri ini termasuk dalam
famili Lactobacillaceae, genus Lactbacillus dan sub genus streptobacterium.
Fardiaz (1989) menyebutkan, bahwa bakteri ini termasuk bakteri homofermentatif
dengan kisaran suhu optimum pertumbuhan 37oC atau lebih serta
memilki fungsi proteolitik. Aktivitas proteolitik ini dapat membantu mencapai
kualitas sosis yang lebh baik karena proses degradasi protein berjalan secara
alami (Fadda et al, 1998).
Menurut Raharjo dan Wasito (2002),
sosis merupakan produk daging yang digaram dan dibumbui, berasal dari bahasa
latin Salsus (garam). Produk ini
lebih populer karena bentuknya lonjong bulat. Lebih lanjut, sosis yang dibuat
dari daging segar mempunyai tingkat kekenyalan yang lebih tinggi dibandingkan
bila dibuat dari daging yang dilayukan lebih dahulu.
Lebih jauh, Dedi (2012), kata sosis
berasal dari kata dalam bahasa Latin “Salsus”, yang berarti diasinkan atau
diawetkan. Menurut catatan sejarah, yaitu dokumen Yunani yang ditulis sekitar
tahun 500 SM, sosis pertama kali dibuat oleh orang Sumaria (sekarang Irak)
sekitar tahun 300 SM. Saat itu masyarakat Sumaria akan menghadapi musim
paceklik, lalu timbulah ide bagaimana caranya agar makanan yang berlebih masih
awet dan bisa dimakan dalam keadaan baik di musim paceklik itu. Alhasil
terciptalah makanan siap saji dari daging yang diberi garam dibumbui dan
dimasukan dalam selongsong dari usus hewan.
Dibanyak negara, sosis
dikembangkan dengan ciri khasnya masing-masing, dengan menggunakan bumbu lokal
dan dimasak sebagai masakan tradisional. Bahkan beberapa olahan sosis dinamai
dengan nama kota dimana sosis itu berasal antara lain : Sosis Bologna aslinya
adalah nama kota di Itali Utara, Sosis Lyon berasal dari Lyon, Perancis, di
Inggris misalnya dinamakan sebagai sosis Berkshire, Wiltshire, Lincolnshire dan
lain - lain.
Ternyata sosis
bernuansa lokal tidak hanya ada di luar Indonesia. Kalau diluar negeri dikenal
dengan nama Sosis atau Sausage, kalau
di Bali namanya jadi “urutan”. Namanya “urutan” karena untuk memasukkan isi ke
dalam usus babi dilakukan sedikit demi sedikit secara manual, dengan cara
seolah-olah tampak seperti “diurut” . Bahan utama untuk membuat Urutan Babi
atau Sosis Babi adalah usus babi, lalu didalamnya dimasukkan daging babi yang
sudah diberi basa genep (bumbu lengkap ala Bali), lalu digoreng hingga
matang dan berwarna kecoklatan. Namun ada cara tradisional lainnya biar urutan
ini memiliki aroma khas dan pastinya jauh lebih enak. Sebelum digoreng, Urutan
biasanya dijempur beberapa hari atau diasapi. Baru setelah kering, bisa
digoreng.
Baiklah, untuk kualitas sosis dapat
ditentukam dari ; warna, bau, rasa, bentuk, jumlah mikroba dan hygiene. Nah,
pertanyaannya sosis yang berwarna seperti apa yang baik? warna untuk sosis yang
baik yaitu pink/jingga, sedangkan urutan dari tingkatan baik sampai kurang baik
adalah pink, merah darah, merah tua, merah hitam, merah kehijau-hijauan, dan
pada akirnya merah hangus.
Sedangkan sosis mempunyai bau yang
khas atau spesifik yaitu flavor khusus dari asap, biasanya sangit, dan tidak
berbau amis. Sosis yang terbaik mempunyai bau gurih, harum karena nitrit dan
sirup jagung serta tomato juice, dan sedikit sangit.
2.1 Pediococcus cerevisiae (Bakteri Pembuat Sosis)
Pediococcus
adalah genus bakteri
yang termasuk bakteri asam laktat
(BAL) dengan ciri non-motil (tidak bergerak) dan memiliki bentuk sferis. Sel
bakteri ini terbagi ke dalam dua bidang sehingga membentuk pasangan, tetrad
(terususun empat), atau gumpalan sel sferis yang lebih besar. Bakteri
ini adalah gram positif berbentuk bulat, khususnya terdapat berpasangan. Genus Pediococcus termasuk golongan
fakultatif anaerob dan untuk hidup memerlukan lingkungan yang kaya nutrisi
serta mengandung faktor pertumbuhan dan gula yang dapat difermentasi. Bakteri
ini termasuk homofermentatif (hanya menghasilkan asam laktat)
dan tidak dapat menggunakan pentosa (karbohidrat beratom C5).
Suhu
optimum untuk pertumbuhan Pediococcus
adalah 25-30 °C dan pH optimum ± 6. Spesies dan galur dari genus ini
berbeda dalam toleransi atau ketahanannya terhadap oksigen,
pH, suhu, resistensi antibiotik, dan NaCl. Beberapa galur dari Pediococcus telah diketahui
memiliki satu atau lebih plasmid
dalam berbagai ukuran, yang sebagian di antaranya mengkodekan gen
untuk fermentasi karbohidrat
dan produksi bakteriosin.
Bakteri
Pediococcus
banyak digunakan dalam pembuatan sosis. Bahan baku sosis bermacam-macam
jenisnya, ada yang menggunakan daging sapi, daging ayam dan daging ikan. Sosis
adalah satu-satunya produk daging terfermentasi. Sosis yang telah diolah
kemudian disimpan pada suhu 8 derajat celcius selama 40 hari atau lebih, yang
selama waktu itu terjadi fermentasi asam laktat disertai dehidrasi daging yang
cukup. Tentu saja hal ini meningkatkan kadar garam yang bersama dengan asam
laktat mencegah pertumbuhan organisme yang merusak. Saat
tumbuh pada daging, Pediococcus
dapat menghasilkan diasetil yang berperan sebagai antimikroba, namun juga dapat
menghilangkan rasa makanan meskipun dalam jumlah kecil. Contohnya Pediococcus
dapat menghambat pertumbuhan Escherichia
coli pada sosis fermentasi selama masa inkubasi ( Anonim, 2011). Genus Pediococcus banyak terlibat dalam
fermentasi bagian tanaman, di antaranya adalah P. acidilactici, P.
dextrinicus, P. inopinatus, P. parvulus, dan P. pentosaceus. Sejak tahun 1985,
telah diteliti bahwa kemampuan Pediococcus sp. untuk membunuh mikroorganisme pembusuk dan patogen
dalam fermentasi daging dikarenakan kemampuannya menghasilkan asam organik.
Selain itu, fermentasi dengan bakteri ini juga meningkatkan kestabilan makanan
dalam masa penyimpanan dan menghasilkan produk yang lebih banyak mengandung protein.
Walaupun jenis ini sebagai perusak bir dan anggur, bakteri ini berperan penting
dalam fermentasi daging dan tercatat sayuran. Adapun klasifikasi dari Pediococcus cerevisiae adalah
sebagai berikut:
Klasifikasi
|
Genus
: Pediococcus
Species
: Pediococcus cerevisiae
|
2.2 Jenis-Jenis Sosis
Mengetahui lebih jauh tentang
sosis, tentunya kita tidak hanya mengetahui sebatas pengertian sosis. Artinya
masih banyak pemahaman tentang jenis-jenis sosis itu seperti apa saja.
Sedangkan paparan di atas kita baru mengemas pengertian, ataupun sosis yang baik
dan yang buruk saja.
Lebih lanjut, berdasarkan kehalusannya, sosis
dibedakan menjadi 2 yaitu :
1. Sosis kasar
2. Sosis emulsi
Sosis
kasar, pengolahannya lebih sederhana, yaitu menggiling lemak sampai halus
kemudian mencampur dengan lemak sampai merata. Sedangkan sosis Emulsi, tahapan
pencampuranna terdiri dari pencampuran, pencacahan dan pengemulsian.
Berdasarkan proses pengolahannya, sosis secara umum dibedakan menjadi 4 yaitu:
1. Sosis mentah (fres sausage), sosis
ini merupakan sosis yang sudah diolah, namun masih mentah/tanpa pemanasan.
2. Sosis yang direbus dan diasap
(process cooking-boilling and smooking), misal; frankfuter, bologna,
knackwurst.
3. Sosis yang direbus tanpa diasap
(process cooking-boilling), misalnya; beer salami, liver sausage.
4. Sosis kering dan semi kiring
(fermentasi), misalnya dry salami.(Soeparno, 1998).
2.3 Bahan Pembuatan Sosis
2.3.1 Daging
Sapi
Daging adalah semua bagian tubuh
ternak yang dapat dan wajar dimakan termasuk jaringan-jaringan dan organ tubuh
bagian dalam seperti hati, ginjal, dan lain-lain. Soeparno (1994)
mendefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan
jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan
kesehatan bagi yang memakannya. Dengan didasarkan pada definisi tersebut maka
organ-organ dalam (jeroan) dan produk olahan seperti corned termasuk dalam
kategori daging. Namun demikian sering dalam kehidupan sehari-hari yang disebut
dengan daging adalah semata-mata jaringan otot, meskipun benar bahwa komponen
utama penyusun daging adalah otot, tetapi tidaklah sama otot dengan daging.
2.3.2
Lemak
Kadar lemak mempengaruhi keempukan,
jus daging dan kelezatan sosis. Lemak juga melayani fase dispersi (diskontinu)
emulsi daging. Kadar lemak bervariasi diantara daging atau hasil sisa, sehingga
bisa menimbulkan masalah lemak non-emulsi. Lemak yang tidak teremulsi harus
diusahakan minimum. Emulsi dari lemak sapi cenderung lebih stabil daripada
lemak babi, karena lemak sapi mengandung lebih banyak asam-asam lemak jenuh,
dapat dilumatkan pada temperatur yang lebih tinggi, sedangkan lemak babi lebih
mudah mencair pada temperatur yang lebih rendah. Sosis masak harus mengandung
lemak lebih dari 30% (Kramlich, 1971; Judge et al., 1989).
2.3.3
Gula
Penggunaan gula dalam produk yang
difermentasi merupakan sumber karbohidrat dalam proses fermentasi untuk
pembentukan asam laktat. Gula akan difermentasi menjadi asam laktat oleh
bakteri asam laktat menghasilkan produk fermentasi dengan flavour yang tajam.
Di samping itu, gula juga berperan dalam pembentukan citarasa dan tekstur sosis
fermentasi (Lucke, 1997).
2.3.4 Garam dan
Nitrit
Nitrit Pokeln Saltz (NPS) merupakan
campuran garam dapur (NaCl) dan Nitrit (NaNO2) dengan komposisi masing-masing
99,5% dan 0,5%. Garam dapat memperbaiki sifat produk daging dengan cara mengekstraksi
protein miofibril dari sel otot selama perlakuan mekanis (misalnya saat
penggilingan daging). Garam juga berinteraksi dengan protein sehingga terbentuk
matriks yang kuat untuk menghasilkan tekstur produk yang baik (Bacus, 1984).
Buege (2001) menyatakan bahwa penambahan nitrit menyebabkan sosis berwarna
cokelat (lebih tua dari merah) dan meningkatkan flavour dan menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Hammes et al. (2003) menambahkan, bahwa
penggunaan nitrit dan garam dalam adonan sosis berfungsi untuk perkembangan
wana, pencegahan proses autooksidasi yang memacu ketengikan dan berkontribusi
mempertahankan bakteri Gram positif (Lactobacillus dan bakteri coccus
non patogen katalase positif).
2.3.5
Bawang Putih
Bawang putih memiliki aroma yang
kuat dan tajam, tetapi hampir tidak berbau jika belum dimemarkan dan
dipotong-potong (Farrell, 1990). Bawang ptuih dapat digunakan sebagai bahan
pengawet karena bersifat bakteriostatik yang disebabkan oleh adanya zat aktif alicin
yang sangat efektif terhadap bakteri, selain itu bawang putih mengandung scordinin,
yaitu senyawa komplek thioglisidin yang bersifat antioksidan (Palungkun
dan Budhiarti, 1995).
2.3.6
Ketumbar
Ketumbar adalah rempah-rempah
kering berbentuk bulat dan berwaarna kuning kecoklatan, memiliki rasa gurih dan
manis, berbau harum, dan dapat membangkitkan kesan sedap di mulut (Farrell,
1990). Ketumbar memiliki aroma rempah-rempah dan terasa pedas. Minyak dari biji
ketumbar terutama mengandung d-linalol, stironelol, bermacam-macam
ester, keton, dan aldehida.
2.3.7
Jahe
Jahe memiliki aroma yang harum dan
rasa yang pedas. Rimpang jahe mengandung minyak atsiri yang menimbulkan
aroma khas jahe, diantaranya zingberene, curcumine, philandren, dan
sebagainya. Jahe juga mengandung gingerols dan shogaols yang
menimbulkan rasa pedas (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Jahe mampu menutupi bau
beberapa flavor dan memberikan kesegaran terhadap bahan pangan.
2.3.8
Pala
Pala (Myristica fragrans)
merupakan tumbuhan berupa pohon
yang berasal dari kepulauan Banda,
Maluku.
Tumbuhan ini berumah dua (dioecious) sehingga dikenal pohon jantan dan
pohon betina. Daunnya berbentuk elips langsing. Buahnya berbentuk lonjong
seperti lemon,
berwarna kuning, berdaging dan beraroma khas karena mengandung minyak atsiri
pada daging buahnya. Bila masak, kulit dan daging buah membuka dan biji akan
terlihat terbungkus fuli yang berwarna merah. Satu buah menghasilkan satu biji
berwarna coklat. Biji pala mengandung minyak atsiri 7-14%. Bubuk pala dipakai
sebagai penyedap untuk roti atau kue, puding, saus, sayuran, dan minuman
penyegar (seperti eggnog).
Minyaknya juga dipakai sebagai campuran parfum atau sabun (Wikipedia, 2010b).
2.3.9
Kultur Starter L. Plantarum
Kultur starter adalah strain
mikroorganisme yang telah diseleksi dan diketahui dapat melakukan aktivitas
metabolisme yang dapat memperbaiki karakteristik bahan yang difermentasi.
Biasanya jumlah bakteri terkontrol yang dtambahkan ke dalam makanan mentah
sekitar cfu/ml (Ray, 2001).Bakteri asam laktat yang digunakan
sebagai kultur starter harus dapat memenuhi kriteria yaitu:
- mampu bersaing dengan mikroorganisme
lain,
- memproduksi asam laktat secara
cepat,
-
ampu tumbuh pada konsentrasi garam
kurang dari 6%,
-
mampu bereaksi dengan dengan
konsentrasi kurang dari 100 mg/kg,
-
mampu tumbuh pada suhu antara
15-40˚C,
-
termasuk bakteri homofermentatif,
-
tidak menghasilkan peroksida dalam
jumlah besar,
-
dapat mereduksi nitrit dan nitrat,
-
dapat meningkatkan flavour
produk akhir,
-
tidak memproduksi senyawa asam
amino,
-
dapat membunuh bakteri pembusuk dan
patogen , dan
-
bersifat sinergis dengan senyawa
starter lain (Vernam dan Sutherland, 1995).
Lactobacillus plantarum
merupakan bakteri homofermentatif (Fardiaz, 1992). Lactobacillus plantarum adalah
jenis Lactobacillus yang bersifat anaeobik fakultatif dengan potimal pertumbuhan
30-35% dan pH minimumnya 3,34 (Bacus, 1984). Karakteristik Lactobacillus
plantarum adalah berbentuk batang pendek dengan ujung melingkar, membentuk
koloni rantai pendek, Gram positif dan katalase negatif (Hidayati, 2006).
2.4
Mekanisme Reaksi Selama Proses Pembuatan Sosis Fermentasi
Dalam sosis fermentasi terdapat kandungan
makromolekul seperti karbohidrat, protein, lemak dan fosfolipid. Karbohidrat
akan mengalami metabolisme oleh mikroba sehingga dipecah menjadi asam-asam
organik. Enzim yang terdapat pada daging akan memecah protein menjadi molekul
yang lebih kecil, yaitu peptida dan asam amino pada reaksi proteolisis.
Sedangkan enzim lain yang juga terdapat pada daging akan memecah lemak dan
fosfolipid menjadi asam lemak bebas pada reaksi hipolisis.
Asam-asam organik hasil pemecahan karbohidrat akan
mempengaruhi rasa (taste) dari sosis. Asam lemak bebas yang berasal dari
reaksi hipolisis (pemecahan lemak dan fosfolipid) akan mempengaruhi aroma (flavor)
sosis. Sedangkan peptida dan asam amino hasil pemecahan protein akan
mempengaruhi rasa dan aroma sosis.
2.5
Pengendalian Proses Pembuatan Sosis Fermentasi
Tahapan
Proses
|
Sosis Semi
Kering
|
Sosis Kering
|
Persiapan
|
Suhu daging
<7°C; pH <5.8; tidak ada kontaminasi silang
|
Chilling/Freezing
|
Suhu daging
<2°C
|
Pemberian
Bumbu dan Pencampuran
|
100-125 mg
NaNO2/kg; Pediococcus acidilactici; Gula 0,5-0,8%; Aw 0,95
|
50-70 mg NaNO2/kg;
Lactobacillus atau Pediococcus atau campuran Micrococcus
dan Lactobacillus; Gula 0,3-0,5%; Aw 0,95
|
Fermentasi
|
20-25°C; 2-3
hari; pH<5.3
|
18-22°C; 3
hari; pH <5.3
|
Agin/Drying
|
<15°C; RH
70-80%; Aw 0.93
|
10-15°C; RH
70-80%; Aw <0.90
|
Penyimpanan
|
<15°C
|
<25°C
|
Proses pembuatan sosis fermentasi meliputi tahapan
persiapan, chilling/ freezing, pemberian bumbu dan pencampuran, filling/
pengisian, fermentasi, pengasapan aging/ drying, dan penyimpanan.
2.5.1
Persiapan
Pada tahap ini, dilakukan pemilihan
daging yang baik kemudian dipotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil.
Daging tersebut kemudian dicincang menjadi daging yang lebih halus. Dalam tahap
ini harus dilakukan proses penanganan yang tepat agar daging tidak mengalami
kontaminasi silang.
2.5.2
Chilling/ Freezing
Pertumbuhan mikroorganisme dalam
pangan dapat dicegah dengan cara penurunan suhu. Terdapat dua macam pengawetan
dengan suhu rendah, yaitu pendinginan cara chilling dan deep-feezing (pembekuan
pada suhu sangat rendah).
Pada pendinginan cara chilling,
pangan ditempatkan pada suhu diatas titik beku air (diatas 0°C). Suhu di dalam
alat pendingin rumah tangga adalah dalam kisaran 0-5°C. Pertumbuhan hampir
semua mikroorganisme diperlambat dan beberapa diantaranya dapat mengalami
kematian. Namun beberapa mikroorganisme tetap tumbuh lambat pada suhu tersebut
dan spora bakteri tetap bertahan hidup.
Pada deep-freezing, pangan
disimpan pada suhu -18°C atau lebih rendah lagi. Freezing tidak dapat
mensterilkan makanan atau membunuh mikroorganisme pembusuk yang menyebabkan
bahan atau produk rusak, melainkan hanya mampu menginaktifkan kerja dari enzim
bakteri pembusuk, sehingga dapat memperlambat kerja dari mikroba pembusuk
tersebut.
2.5.3
Pemberian Bumbu dan Pencampuran
Bumbu-bumbu yang digunakan dalam
pembuatan sosis adalah lada, pala, bawang putih, gula dan garam. Jumlah dan
variasi bumbu yang digunakan tergantung selera, daerah dan aroma yang dikehendaki.
Setelah daging dicincang halus, bumbu-bumbu ditambahkan pada adonan daging
cincang kemudian dicampur hingga merata. Sluri dibuat dari bumbu-bumbu dan
garam menggunakan dua gelas air lalu dicampur merata. Penambahan air bertujuan
untuk memecah curing agents, memfasilitasi proses pencampuran dan memberikan
karakteristik tekstur dan rasa pada produk sosis.
2.5.4
Filling/ Pengisian
Stuffing
merupakan tahap pengisian adonan sosis ke dalam selongsong. Pengisisan adonan
sosis ke dalam selongsong tergantung tipe sosis, ukuran kemudahan proses,
penyimpanan serta permintaan konsumen. Pemasukan adonan sosis ke dalam casing
menggunakan alat khusus (disebut stuffer) yang bertujuan membentuk dan
mempertahankan kestabilan sosis.
2.5.5
Fermentasi
Tahapan ini merupakan tahap peningkatan
suhu sosis yang memungkinkan bakteri alami tumbuh dan bereaksi dengan daging.
Fermentasi merupakan tahapan penting pada proses pembuatan sosis dan suhu yang
tepat juga memainkan peran yang penting. Semakin tinggi suhu, maka semakin
tinggi kecepatan pertumbuhan bakteri. Suhu pertumbuhan yang terbaik adalah suhu
tubuh kita (36,6°C).
2.5.6
Pengasapan
Pengasapan berfungsi untuk
menghabat pertumbuhan bakteri, memperlambat oksidasi lemak dan memberi flavour
pada daging yang sedang diproses (Lawrie, 1998). Proses pengasapan dapat
dilaksanakan dengan proses konvensional, yaitu dengan menggantungkan produk
dalam ruangan selama 4-8 jam pada suhu 35-40˚C (Buckle et al., 1987).
Kombinasi panas dan asap efektif dalam mengurangi populasi mikroba di permukaan
daging secara signifikan. Kayu yang baik untuk pengasapan adalah kayu yang
menghasilkan banyak asap dan lambat terbakar. Jenis kayu yang banyak digunakan
adalah kayu kaswari, kayu bakar, dan kayu keras lainnya, selain itu tempurung
dan sabut kelapa serta serbuk gergaji dapat digunakkan untuk proses pengasapan.
Harris dan Karmas (1989), menyatakan bahwa pengeringan permukaan dan koagulasi
protein dihasilkan dari kondensasi formaldehid dan fenol. Hal tersebut menghasilkan
penghambatan fisik dan kimia yang efektif terhadap pertumbuhan dan penetrasi
mikroba pada produk yang dihasilkan.
2.5.7
Agin/ Drying
Pengeringan merupakan suatu metode
untuk mengurangi/ mengeluarkan sebagian air dari sosis dengan cara menguapkan
air tersebut dengan menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air sosis
dikurangi sampai batas agar mikroba tidak dapat tumbuh didalamnya. Kadar air
berpengaruh terhadap tekstur sosis. Pengeringan dapat menurunkan kandungan air
dan menyebabkan pemekatan dari bahan-bahan yang ditinggal seperti karbohidrat,
lemak, protein sehingga bahan pangan memiliki kualitas simpan yang lebih baik.
2.5.8
Penyimpanan
Faktor yang mempengaruhi stabilitas
penyimpanan dalam pangan meliputi jenis dan bahan baku yang digunakan, metode
dan keefektifan pengolahan, jenis dan keadaan kemasan, perlakuan mekanis yang
cukup berat dalam produk yang dikemas dala penyimpanan, dan distribusi dan juga
pengaruh yang ditimbulkan oleh suhu dan kelembaban penyimpanan.
2.6
Karakteristik Sosis Fermentasi
Sosis fermentasi yang telah jadi akan memiliki
karakteristik pH yang asam, yaitu 4,8-5,3. Pada sosis kering (dry sausage) akan
terjadi penurunan berat sebesar 60-70% dari berat awal setelah dilakukan proses
fermentasi, sehingga kadar air akhir dari sosis kering yaitu 25-45% dengan
ratio perbandingan antara air dan protein sebesar 2,3 : 1. Sedangkan pada sosis
semi kering (semi dry sausage), kadar air pada akhir prosesnya yaitu
55-60% dengan ratio perbandingan antara air dan protein sebesar 3,7 : 1.
Pertumbuhan kapang, khamir atau bakteri pada
permukaan sosis dapat menyebabkan kondisi permukaan berjamur atau berlendir.
Hal ini dapat terjadi ketika sosis diperlakukan buruk dan dikeringkan.
Kelembaban menjadi meningkat sehingga suhu penyimpanan berubah, terutama dari
suhu rendah ke suhu yang lebih tinggi. Permukaan yang berlendir dan berjamur
ini adalah akumulasi besar sel mikroba yang dapat menyebabkan perubahan
karakteristik pada produk akhir.
2.7
Manfaat Sosis Fermentasi
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari
pengkonsumsian sosis fermentasi, yaitu:
- Mempunyai
nilai gizi yang lebih tinggi dari nilai gizi bahan asalnya (mikroorganisme
bersifat katabolik, memecah senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana
sehingga mudah dicerna dan mensintesis vitamin kompleks dan faktor-faktor
pertumbuhan badan lainnya, sebagai contoh vitamin B12, riboflavin,
provitamin A)
- Meningkatkan
kesehatan dengan cara meningkatkan jumlah bakteri baik dalam saluran
pencernaan sehingga dapat menghindarkan dari berbagai macam penyakit
terutama penyakit yang berhubungan dengan saluran pencernaan
Memiliki
daya cerna yang tinggi sehingga mudah diserap dan dicerna oleh tubuh.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
·
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3820-1995), sosis yang baik harus mengandung
protein minimal 13%, lemak maksimal 25% dan karbohidrat maksimal 8%. Jika
standar ini terpenuhi, maka dapat dikatakan bahwa sosis merupakan makanan
sumber protein
·
Pediococcus adalah genus bakteri yang termasuk bakteri asam laktat (BAL) dengan ciri non-motil (tidak
bergerak) dan memiliki bentuk sferis. Sel bakteri ini terbagi ke dalam dua
bidang sehingga membentuk pasangan, tetrad (terususun empat), atau gumpalan sel
sferis yang lebih besar. Bakteri ini adalah gram positif berbentuk bulat,
khususnya terdapat berpasangan. Genus Pediococcus termasuk golongan fakultatif anaerob dan untuk
hidup memerlukan lingkungan yang kaya nutrisi serta mengandung faktor
pertumbuhan dan gula yang dapat difermentasi. Bakteri ini termasuk
homofermentatif (hanya menghasilkan asam laktat) dan tidak dapat menggunakan
pentosa (karbohidrat beratom C5).
DAFTAR
PUSTAKA
Raharjo,
A.H.D dan Wasito, samsu. 2002. Buku Ajar
Teknologi Hasil Ternak. Universitas Jenderal Soedirman: Purwokerto.
Soeparno.
1998. Ilmu dan Teknologi Daging. UGM Press: Yogykarta.
Wood, B. J. B. 1998. Microbiology
of Fermented Foods Volume 2 Second Edition. Thomson Science. USA
Bacus, J. N. 1984. Utilization of
Microorganism in Meat Processing. A Handbook for Meatplant Operators. John
Wiley and Son Inc., New York.
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G.H.
Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan: H. Purnomo and Adiono.
Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.